Sabtu, 03 Desember 2016

1001 Jam



Usiaku sudah memasuki 38 tahun, itu artinya, jatah umur semakin berkurang. Dalam beberapa bulan terakhir, aku coba menganalisa kembali apa-apa saja yang pernah dikerjakan selama hidup. Sekedar menyederhanakan, agar sadar bahwa banyak yang sudah dilakukan dalam hidup ini.

1999-2004 (SERABUTAN)

Adalah dimana aku berusaha untuk survive di rantau. Mulai dari menyelesaikan novel "Cinta Datang, Cinta Pergi" yang tak pernah terbit. Lantas bikin film pendek "Waiting For" yang nemplok di Goethe Institute. Lalu bikin-bikin lagu sambil belajar aransemen namun tak pernah jadi album. Kemudian bikin EO yang berujung bisnis Playstation, tapi nggak untung. Kerja di bengkel yang berujung jadi astrada film-nya teman yang berjudul "Baik". Mulai menulis FTV, menulis TV Play, pacaran, nikah. 5 tahun ini terlewat begitu saja dengan kondisi psikis dimana aku yang terus diliputi perasaan bersalah sebab belum berhasil membalas jasa kedua orangtua. Artinya, meski berpenghasilan, hidupku cenderung pas-pasan hingga usia 26 tahun.

2004-2011 (SKENARIO)

Ini adalah masa dimana pikiranku hanya tertuju ke penulisan skenario, dan aku pun membuktikan bahwa bisa survive dari sini. Kalau diingat-ingat, yang lumayan berat adalah tahun 2005 & 2008, dimana ada berbagai macam kompromi yang aku hadapi. Uniknya, ada saja yang aku lakukan demi survive. Salah satunya adalah "Luten dan Nokia IAC", dimana ada kisah tentang lagu "Holiday". Ini seperti menjawab cita-cita zaman SMA, meski tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Kemudian punya kesempatan workshop dari "University of Southern California" tentang penulisan skenario. Layar lebar "Terowongan Rumah Sakit", kemudian film indie "Kumohon, Cintailah Aku!", dsb. Itulah yang aku capai hingga usia 33 tahun, dan masih jauh jika dibandingkan dengan kisah-kisah sukses di usia yang sama. Tapi lumayan, daripada tidak sama sekali.

2011-2015 (UNDERGROUND FILMMAKER)

Sebenarnya sudah dimulai dari tahun 2008, tapi belum terlalu fokus sebab masih menulis skenario. Istilah "Underground Filmmaker" pun bukan aku yang mencetuskan, tapi sebutan dari teman-teman. Dimulai dari film pendek "Cermit", "Bollahu Akbar", "Diary Uyi & Imi", "RIP Shaun The Sheep", "Rahman Belida", dsb. Lalu "Komandanku", "Aku Indonesia", "Supermamat", dll. Kemudian membuat program "1001 Tiket Film Indonesia" (FrameMagz) hingga berujung pada "FFI 2014 Palembang". Ini seakan mengobati perasaan bersalah setelah beberapa tahun belum juga membahagiakan orangtua. 2015 adalah pencapaian terakhir dari fase ini, dimana berhasil membuat "Gedung Buruk The Movie". Artinya, aku dan tim berhasil mewujudkan bikin film panjang di dusun.

2016 (SCENARIO ANALYSER)

Mulai memasuki fase di perkuliahan kedua (Ekonomi Pembangunan), dimana salah satunya adalah mengembangkan keywords "Scenario Analysis". Pencarian ini sudah dimulai dari tahun 2011, namun gong-nya adalah pada "Davos 2016" dimana aku coba connect lewat social media. Ini seperti membuktikan bahwa "film ada hubungan dengan dunia nyata", seperti tulisan terakhir di medium dot com. Ya, semacam konsep merancang masa depan yang menyatukan berbagai macam disiplin ilmu ke dalam hal sederhana yang mudah dimengerti. World Economic Forum menyebut ini sebagai "Complex Problem Solving", salah satu skill yang konon akan diperhitungkan mulai dari sekarang hingga beberapa tahun ke depan. Namun beberapa hari terakhir, aku cenderung meninggalkan materi-materi besar yang diikuti pada @wef dalam beberapa tahun terakhir, untuk kemudian kembali ke pemikiran sederhana berdasarkan realita yang ada di keseharian. Aku menyebutnya sementara sebagai "Tukang Sapu (1001 Jam)", soalnya aku senang menyapu dan bersih-bersih. Jadilah aku sekarang sebagai Tukang Sapu yang berfikir, bahwa hal sederhana inilah yang nantinya bisa mengubah dunia. Nggak ngerti, mengapa aku punya keyakinan akan hal ini.

(Gelumbang, 3 Des 2016 / Wurry Parluten, filmmaker & Scenario Analyser)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar